Oleh: Muhammad Aditia Rizki
Sesuai dengan KEPUTUSAN NO. 18, BN.2021/NR.435, bahwa Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2015 tentang Reformasi Aparatur Sipil Negara dan Bentuk Birokrasi tentang Peta Jalan Reformasi Aparatur Negara Kementerian Tahun 2015-2019 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum karena telah memasuki tahap akhir dari seluruh rangkaian Reformasi Perencanaan Birokrasi Besar Tahun 2010 – 2025 , oleh karena itu harus diganti; 1) bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 1(2) Keputusan Menteri Nomor 25 Peta Jalan Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2020-2024 tentang Peta Jalan Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2020, berdasarkan aspek-aspek sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi tentang Roadmap Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Bentuk Birokrasi Tahun Ini. 2020-2024;
Jadwal Bentuk Birokrasi Tahun Reformasi Administrasi dan Bentuk Birokrasi. Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024 yang selanjutnya disebut Peta Jalan (Roadmap) adalah Rencana Kerja Reformasi Birokrasi yang merupakan kelanjutan dari Peta Jalan Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024; Jadwalnya meliputi:
a.sebuah. sementara; b. Capaian implementasi bentuk internal birokrasi 2015-2019; c. Tujuan reformasi administrasi dan bentuk birokrasi, isu strategis dan strategi implementasi bentuk birokrasi di kementerian tahun 2020-2024; yaitu Program, rencana aksi, kriteria keberhasilan, program prioritas, waktu pelaksanaan, tahapan kerja dan penanggung jawab.
Muhammad Aditia Rizki Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fisip UIN AR-RANIRY Menyatakan bahwa Di era reformasi agama ini, birokrasi Indonesia tidak banyak berubah, baik di pusat maupun di daerah. Perilaku birokrasi pada masa reformasi mirip dengan era Orde Baru. Meskipun pemerintah pusat telah banyak mengeluarkan pedoman mengenai reformasi birokrasi, namun perilaku birokrasi tidak berubah secara signifikan. Birokrasi Indonesia masih bersifat turun-temurun. Dalam bentuk birokrasi, baik pemerintah pusat maupun daerah harus menerapkan good governance.
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari sistem nilai tradisional yang tumbuh dan bercampur dengan birokrasi ala kolonial di masa lalu. Selain tumbuhnya birokrasi modern, warisan birokrasi tradisional turut mempengaruhi perkembangan birokrasi di Indonesia. Sebagaimana abdi dalam dan privat yang berjenjang, pejabat juga terdiri dari pangkat, kelas, dan tingkatan yang berbeda. Semboyan pamong praja adalah pegawai negeri, mengacu pada orientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan melayani masyarakat di atas daripada di bawah. Apakah model atau stigma birokrasi yang digambarkan di atas masih berlaku pada birokrasi Indonesia? Secara teori seharusnya sudah berubah, yang tidak lagi, tetapi harus menghasilkan birokrasi ala Weber, dimana birokrasi benar-benar menekankan efisiensi, efektifitas, profesionalisme, sistem merit dan pelayanan masyarakat. Mengapa? Hal ini karena zaman telah berubah di era reformasi dan otonomi daerah, sehingga seharusnya birokrasi mengalami perubahan paradigma dimana birokrasi perlu memposisikan diri sebagai pelayan publik, efektif, efisien dan profesional.
Kondisi di daerah-daerah tidak jauh berbeda dengan kondisi birokrasi pemerintah pusat. Pada masa reformasi ini, yang relatif sama dengan masa pemerintahan Orde Baru, tampaknya tidak terjadi perubahan yang berarti pada birokrasi pemerintahan pusat. Pada masa Orde Baru, birokrasi dijadikan sebagai mesin politik, dengan biaya yang besar bagi rakyat. Munculnya ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian tentang tanggung jawab adalah beberapa fakta empiris tentang runtuhnya layanan birokrasi. Apalagi, pelayanan birokrasi menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Para pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintahan sangat mengontrol. Kondisi ini sudah begitu lama mendarah daging sehingga membentuk sikap, perilaku dan opini yang membuat pejabat politik dan birokrat tidak dapat dipisahkan.
Sebagaimana diketahui, birokrasi Indonesia masih mewarisi model birokrasi patrimonial baik di pusat maupun di daerah. Model birokrasi ini menunjukkan perilaku dan pola pikir seorang penguasa untuk dilayani, bukan mesin untuk melayani masyarakat. Model hubungan yang muncul lebih bersifat personal, dengan faktor kedekatan personal dan loyalitas lebih diutamakan daripada aturan legal dan formal. Akibat dari apa yang terjadi, terbentuklah hubungan pribadi, berdasarkan persahabatan dan menahan serta menolak iklan. Nampaknya, model birokrasi yang mengedepankan profesionalisme Weberian, impersonal dan legal formal, belum ada dalam birokrasi Indonesia. Keterbelakangan birokrasi ala Weber dan dominasi model birokrasi patrimonial menghambat proses demokrasi Indonesia di satu sisi dan peningkatan pelayanan publik di sisi lain. Memang birokrasi kita jauh dari tipe ideal birokrasi Max Weber modern, yang lebih sering diasosiasikan dengan implikasi negatif, seperti mekanisme dan prosedur kerja yang rumit serta penyalahgunaan jabatan. Seperti yang dipahami Weber, birokrasi kita lebih merupakan birokrasi patrimonial daripada birokrasi modern. Dalam menerapkan hirarki birokrasi, posisi dan gaya perilaku lebih didasarkan pada hubungan patron-klien (ayah-bawahan).
Konon, birokrasi saat ini masih kental dengan nilai-nilai feodal. Birokrasi ala Indonesia yang aristokratis dan menerapkan kelas sosial masyarakat tidak lain adalah orang miskin sebagai objek sistem administrasi, model birokrasi di sini terbalik. pembalikan tesis akal Weber sebagai manifestasi dari eksistensi birokrasi modern.
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa:
Good governance merupakan isu manajemen yang paling terlihat dalam administrasi publik saat ini. Masyarakat menuntut pemerintah untuk menerapkan dan melaksanakan pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan model lama (bad governance) harus ditinggalkan dan diganti dengan tata kelola pemerintahan baru yang berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Reformasi kelembagaan dan administrasi publik diperlukan untuk mencapai good governance. ). Reformasi kelembagaan PNS menyangkut perbaikan seluruh perangkat manajemen, baik dari segi struktur maupun infrastruktur. Kunci reformasi kelembagaan adalah memperkuat setiap elemen, yaitu. masyarakat sebagai kelompok kepentingan, eksekutif negara dan badan perwakilan sebagai pemegang saham. merespon tidak hanya pergeseran paradigma, tetapi juga perubahan kepemimpinan dengan tuntutan zaman. Konsep Osborne dan Gaebler tentang “Reinventing Government” adalah salah satu model manajemen yang paling populer. Perspektif baru tentang manajemen yang dikemukakan oleh dua orang ahli, yaitu:
Pemerintah Katalitik, Pemerintah Negara Bagian, Pemerintah Kompetitif, Pemerintah Berbasis Misi, Pemerintah Berbasis Hasil, Pemerintah Berbasis Pelanggan, Pemerintah Wirausaha, Pemerintah Proaktif, Pemerintah Terdesentralisasi, Pemerintah Berbasis Pasar.
Penulis: Adalah Mahasiswa ilmu administrasi negara Fisip UIN AR-RANIRY Banda Aceh