Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Contempt of Court: Penghinaan/Penistaan Pengadilan

Rustam Efendi, S.H

Penulis: Rustam Efendi, SH
Aktivis Nasional Anti Korupsi, Ketua Ormas Front Pembela Rakyat (FPR)

Contempt of Court diterjemahkan dari bahasa Inggris sering disebut hanya sebagai “penghinaan”, adalah kejahatan ketidaktaatan atau ketidakhormatan terhadap pengadilan dan pejabatnya dalam bentuk perilaku yang menentang atau menentang otoritas, keadilan, dan martabat pengadilan.

Asal mula Contempt of Court mulai digunakan digunakan dari zaman kuno. Konsep ini sudah ada sejak sistem persidangan awal yang berlaku di berbagai peradaban kuno seperti Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Roma Kuno.

Di Inggris, Contempt of Court telah menjadi bagian dari sistem hukum sejak zaman pertengahan. Pada abad ke-14, Inggris mengalami perkembangan hukum yang melahirkan prinsip common law, di mana pengadilan keputusan menjadi landasan untuk putusan selanjutnya. Untuk menjaga otoritas dan kehormatan pengadilan, Contempt of Court diberlakukan untuk melawan segala perilaku atau tindakan yang dapat mengganggu proses peradilan atau menodai otoritas otoritas.

Seiring berjalannya waktu, aturan Contempt of Court berkembang dan diadopsi oleh berbagai sistem hukum di seluruh dunia. Meskipun peraturannya dapat berbeda di setiap yurisdiksi, prinsip dasar untuk melindungi proses pengadilan dan otoritas pengadilan tetap menjadi inti dari konsep Contempt of Court.

Dalam sistem peradilan hukum atau pengadilan di Indonesia, istilah “Contempt of Court” bukanlah sesuatu hal yang baru. Dikutip dari buku Naskah Akademis Penelitian Content of Court 2022 terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, istilah tersebut sudah sejak dibentuknya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Butir 4 Alinea ke-4 UU ini berbunyi: “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.

Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court.”

Terkait penghinaan terhadap pengadilan atau Contempt of Court ini, secara hukum nasional sudah ada beberapa pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengaturnya. Antara lain, Pasal 207, 217, 224 KUHP, dan Pasal 217, 218 KUHAP.

Apa itu penghinaan pengadilan? Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court adalah perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman

Selanjutnya, perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain.

Berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court)

Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders)

Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalising the court)

Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice)

Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (sub-judice rule)

Sementara itu, terdapat beberapa pasal yang termasuk penghinaan terhadap pengadilan dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu: KUHP dan RKUHP

Tersebar dalam beberapa pasal, contoh pasal yang mengatur diantaranya:

Pasal 207 KUHP

Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

Pasal 217 KUHP

Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah

Pasal 224 KUHP

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Beberapa pasal yang mengatur diantaranya:

Pasal 279 RKUHP

Setiap orang yang membuat gaduh di dekat ruang sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai tiga kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I yaitu Rp1 juta.

Setiap orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai tiga kali oleh atau atas nama hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta.
Pasal 280 RKUHP

Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung

tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;
menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau
tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.
Pasal ini merupakan delik aduan yang dapat dilakukan secara tertulis oleh hakim.

Pasal 281 RKUHP

Setiap orang yang menghalang-halangi, mengintimidasi, atau memengaruhi pejabat yang melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, atau putusan pengadilan dengan maksud untuk memaksa atau membujuknya agar melakukan atau tidak melakukan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori VI yaitu Rp2 miliar.

Menurut Luhut M.P. Pangaribuan dalam bukunya yang berjudul Advokat dan Contempt of Court (hal. 17) berpendapat, contempt of court klasifikasinya bisa bersifat langsung atau tidak langsung, bersifat pidana atau perdata tergantung pada peristiwanya. Menurutnya, contempt of court secara tidak langsung lebih potensial dilakukan oleh wartawan.

Lebih jauh, masih menurut Luhut (hal. 20), dalam konteks ada perilaku langsung dan tidak langsung bersifat pidana atau perdata, siapa saja yang mengikuti suatu sidang bersikap merendahkan, merusak, melecehkan wibawa pengadilan maka hakim yang memiliki kekuasaan besar (absolut) berdasarkan KUHP dan KUHAP tidak memerlukan lagi kewenangan tambahan. Luhut berpendapat, Pasal 218 KUHAP memberi kewenangan pada hakim dengan ancaman hukumannya bisa tiga minggu dalam penjara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 217 KUHP.

Pasal 218 KUHAP sendiri mengatur bahwa siapa pun wajib menunjukkan sikap homat kepada pengadilan. Jika bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya maka yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. Dalam hal pelanggaran tata tertib tersebut termasuk daam tindak pidana, maka pelaku dapat dituntut.

Jadi, yang dimaksud dengan contempt of court adalah setiap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Aturan yang berkaitan dengan contempt of court telah ada dalam KUHP yang masih berlaku saat ini, KUHAP dan RKUHP.

Contempt of Court adalah perilaku atau tindakan yang menunjukkan kurangnya hormat atau mengganggu proses pengadilan. Ini bisa berupa perilaku tidak patuh, menghina, atau mengancam integritas tanggung jawab pengadilan.

Contoh Contempt of Court dalam sejarah

1. Charles Laughton pada tahun 1950 dinyatakan bersalah di pengadilan (Contempt of Court) karena menolak memberikan kesaksian selama kasus yang sedang berlangsung.

2. Martha Stewart pada tahun 2004 dihukum karena menyembunyikan informasi penting selama proses pengadilan.

3. Penulis Inggris, Thomas Hardy, pada tahun 1923 didakwa Contempt of Court karena pelanggaran hasil suatu kasus dalam sebuah artikel.

Contoh Contempt of Court pun kerap kali terjadi di Indonesia. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mencatat, misalnya pada 15 November 2003 terjadi pembakaran gedung Pengadilan Negeri Larantuka, Nusa Tenggara Timur oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, sebagaimana diberitakan media Tempo, seorang oknum jaksa menyerang hakim di Pengadilan Negeri Poso Sulawesi Tengah sesaat setelah hakim membebaskan terdakwa pada 23 Desember 2008. Pun pada 18 Juli 2019, seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.

Penting untuk diingat bahwa hukum dan contoh-contoh di atas mungkin berbeda tergantung pada yurisdiksi dan peraturan di wilayah tertentu.

Prinsip dasar Contempt of Court

Prinsip dasar Contempt of Court adalah untuk menjaga keteraturan dan kewibawaan sistem peradilan serta melindungi kehormatan dan otoritas pengadilan. Beberapa prinsip dasar tersebut meliputi:

1. Rasa hormat terhadap pengadilan

Setiap orang diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap pengadilan dan orang yang terlibat dalam proses peradilan.

2. Keterbukaan dan Transparansi

Setiap orang harus mematuhi peraturan Pengadilan seperti larangan merekam atau mengganggu jalannya peradilan, untuk memastikan proses peradilan berjalan dengan adil dan terbuka.

3. Kepatuhan terhadap putusan pengadilan

Putusan pengadilan harus dihormati dan diindahkan oleh semua pihak yang terlibat. Tidak adanya kepatuhan terhadap putusan pengadilan dapat dianggap sebagai Contempt of Court.

4. Tidak menghalangi proses peradilan:

Tidak ada pihak yang boleh menghalangi proses peradilan atau mengintervensi secara tidak sah dalam pelaksanaan keadilan.

5. Menghormati otoritas pengadilan:

Tindakan yang mengancam, mencemooh, atau menghina hakim atau pejabat pengadilan dapat dianggap sebagai Contempt of Court.

Prinsip-prinsip ini berfungsi untuk melindungi integritas dan otoritas otoritas, serta memastikan bahwa proses peradilan berlangsung dengan adil dan efisien untuk mencapai keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

(Dirangkum dari Hukum online, Media Tempo dan berbagai sumber lainnya)

Editor: Freddy Watania

Share:

Tinggalkan Balasan