Banyak rencana pemekaran daerah atau Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB) yang telah diusulkan ke Kementerian Dalam Negeri. Pemekaran daerah adalah pemecahan daerah provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua atau lebih daerah baru. Peraturan terbaru yang mengatur tentang pemekaran daerah adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemekaran daerah semakin banyak dilakukan setelah diberlakukannya otonomi daerah agar daerah dapat mengelola wilayah secara maksimal. Akan tetapi, menurut hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri sebagian besar daerah otonomi baru (DOB) mengalami kegagalan. Terdapat 205 daerah otonomi baru di tahun 1999–2009 dan sekitar 78% tidak mampu mandiri karena pemerintahan kurang berjalan maksimal dan terlalu bergantung pada anggaran dari pemerintah pusat
Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan ditandainya dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Hal ini menyebabkan daerah memiliki hak untuk dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah adalah sebagai pengontrol pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut. Sementara itu, ada pola atau fenomena yang terbentuk dalam membangun kohesi sosial di era otonomi daerah, yaitu, Kohesi sosial yang terbangun didasarkan pada nilai-nilai etnosentrisme- primordialisme.
Sesuatu yang banyak dibicarakan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan tarik menarik kepentingan antara kedua satuan pemerintahan tersebut.
Masyarakat daerah yang kecewa terhadap manajemen pemerintahan sentralistik menuntut kewenangan yang lebih luas untuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri, tanpa intervensi operasional pemerintah pusat
Sementara itu, terkait dengan prinsip negara kesatuan, maka upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas. Hal ini membuat hubungan pemerintah pusat dan daerah mencakup isu yang sangat luas, baik isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, ataupun terkait dengan isu antara negara dan masyarakat.
Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Membangun Kohesi Sosial Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Membangun Kohesi Sosial Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan ditandainya dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan daerah memiliki hak untuk dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah adalah sebagai pengontrol pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut.
Sementara itu, ada pola atau fenomena yang terbentuk dalam membangun kohesi sosial di era otonomi daerah, yaitu, Kohesi sosial yang terbangun didasarkan pada nilai-nilai etnosentrisme- primordialisme.
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak dibicarakan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan tarik menarik kepentingan antara kedua satuan pemerintahan tersebut. Masyarakat daerah yang kecewa terhadap manajemen pemerintahan sentralistik menuntut kewenangan yang lebih luas untuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri, tanpa intervensi operasional pemerintah pusat.
Sementara itu, terkait dengan prinsip negara kesatuan, maka upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas. Hal ini membuat hubungan pemerintah pusat dan daerah mencakup isu yang sangat luas, baik isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, ataupun terkait dengan isu antara negara dan masyarakat.
Selain itu dalam pelaksanaan otonomi di era reformasi muncul perkembangan primordialisme. Konsep ini sebenarnya bukan saja salah kaprah tetapi juga merupakan sebuah pemikiran yang sempit yaitu narrow minded, hal ini disebabkan karena paradigma dasar otonomi daerah adalah pengakuan terhadap diversitas dan pluralisme. Namun ternyata disalahgunakan dengan berbagai alasan sehingga memunculkan semangat primordialisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai seperti halnya etnosentris.
Primordialisme merupakan sebuah kecenderungan negatif yang bisa dinetralisir dengan menyediakan perangkat sistem yang kuat dan demokratis yang tidak memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai yang sempit itu. Otonomi daerah mengakui adanya perbedaan suku, agama, ras dan golongan dalam koridor diversity, tetapi tidak mentolerir tumbuhnya nilai-nilai etnosentris atau sikap sempit lainnya yang jelas melanggar prinsip dasar otonomi yaitu pengakuan atas demokrasi dan pluralism.
Untuk itulah tidak mengherankan bahwa tidak sedikit para penjunjung nilai-nilai diversitas dan pluralisme, justru memanfaatkan fenomena diversitas dan pluralisme secara tidak bermoral dan jahat untuk menggalang kekuatan primordial untuk kepentingan politik, primordialisme dan golongan masing-masing, yang akan berdampak juga untuk tetap melanggengkan korupsi,kolusi dan nepotisme serta meperlebar kesenjangan kohesi sosial masyarakat.
Penulis:
Rustam Efendi. S.H
Aktivis Front Pembela Rakyat