Oleh:
RUSTAM EFENDI, S.H., C.PS., C.MK
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa salah satu bentuk keseriusan pemerintah untuk membawa perubahan pada negeri ini. Konsep dasar yang menyatakan membangun Indonesia dimulai dari desa, bisa saja dibenarkan sebab desa merupakan persekutuan terkecil masyarakat yang mampu menggerakkan perekonomian terkecil.
Atas dasar tersebut, pemerintah melihat desa memiliki posisi sangat strategis untuk terus dikembangkan dan diberdayakan demi terciptanya kesejahteraan dan kesetaraan secara ekonomi.
Untuk pengelolaan desa tersebut diperlukan dana yang cukup. Dengan melihat jumlah desa yang cukup banyak yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu pemerintah akan menggelontorkan dana yang sangat besar dan sangat riskan di dalam pengelolaannya.
Hal ini disebabkan di saat pemerintah menggelontorkan dana yang sebegitu besar sangat rawan dikorupsi oleh perangkat desa, sebab perangkat desa sebelumnya belum pernah mengelola keuangan yang sebegitu besar dan banyak. Tentu dana ini sangat rawan dikorupsi demi keuntungan pribadi.
Dengan diberlakukannya undang-undang desa, perangkat desa seperti mendapatkan durian runtuh.
Sebab mereka punya kewajiban mengelola desa untuk keberlangsungan desa serta menggeliatnya perekonomian di desa. Di samping itu, manfaatnya ialah untuk mengentaskan kemiskinan serta pemerataan pembangunan di desa.
Akan tetapi, implementasi di lapangan tidak sesuai dengan realitanya karena banyak dana desa yang dikorupsi oleh perangkat desanya dan tentu hal ini sangat ironis.
Dana yang digelontorkan oleh pemerintah membuat aparatur di desa menjadi “desa kaya mendadak”. Hal ini yang menyebabkan mungkin beberapa desa bingung untuk mengelola dan menggunakan dana tersebut.
Alhasil, dengan kebingungan tersebut dan kesewenang-wenangan jabatan yang dimiliki oleh oknum perangkat desa, dana desa di beberapa desa di Indonesia ada yang dikorupsi. Hal ini terbukti benar, ada beberapa kasus yang melihatkan perangkat desa yang melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana desa tersebut.
Alokasi Dana Desa merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Alokasi Dana Desa tersebut paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dilaksanakan oleh Kepala Desa, dimulai dari Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada Perangkat Desa yang ditunjuk.
Perbuatan penyalahgunaan Alokasi Dana Desa merupakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh Kepala Desa. Apabila dilakukan, maka Kepala Desa dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
Perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana korupsi, karena menyalahgunakan wewenangnya yang berakibat merugikan keuangan negara.
Pidana korupsi dan salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi ini oleh kepala desa disebabkan karena tidak adanya regulasi yang mengatur secara jelas dan kurangnya partisipasi masyarakat khususnya mengawasi pembangunan desa maka terjadilah tindak pidana korupsi. Dan perbutan tersebut haruslah di proses secars hukum dan setiap pelakunya wajib dipenjarakan Guna Untuk memberi Efek Jera kepada pelaku Korupsi Dana Desa
Hendak masyarakat dalam memilih kepala desanya salah satunya harus menguasai/memahami ketentuan pengeloaan keuangan desa, jujur, amanah, bermoral serta bertanggung jawab terjadinya tindak pidana khususnya hendaknya meningkatkan sumber daya keuangan desa dan meningkatkan jumlah honor atau penghasilan hal ini untuk mencegah perangkat desa melalui tambahan bantuan dana pada ADD.
Penulis: Ketua Umum Lembaga Front Pembela Rakyat
Editor: Iman SP. Noya