Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Masa Depan Kerajaan Inggris Raya Setelah Wafatnya Ratu Elizabeth II

Ismail Nusantara Pulungan, MPS

Oleh: Ismail Nusantara Pulungan, MPS

DUNIA berduka dengan wafatnya sosok legandaris, Tangguh, dicintai rakyatnya dan telah memimpin tahta kerajaan Inggris Raya selama 70 tahun, Ratu Elizabeth II yang wafat pada Kamis 8 September 2022, dalam usia 96 tahun.  Dunia mengenal figur sang Ratu yang gigih dengan kemampuan diplomasi yang cukup mumpuni khususnya pada penggal sejarah Pasca Perang Dunia II, perang dingin dan dimasa selanjutnya yang masih rentan dengan sejumlah tantangan global hingga saat ini. Duka Cita mendalam ini juga begitu dirasakan oleh Indonesia, dimana hubungan bilateral antara kedua negara Inggris Raya dan Indonesia begitu dinamis termasuk komitmen kedua negara untuk terus berkontribusi dalam peningkatan kepentingan perdamaian di dunia. Dalam rekam sejarah Ratu Elizabeth II bersama suami Pangeran Philip tercatat pernah mengunjungi Indonesia di saat masa kepemimpinan Presiden Soeharto sekitar tahun 1974. selanjutnya pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia mendapatkan kehormatan dan undangan khusus kepada Presiden ke 6 Republik Indonesia, Prof. DR. Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris Raya dan sembari menerima penghargaan dan gelar Knight Grant Cross in the Order of Bath (GCB)  yang diberikan langsung oleh sang Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham.

Rasa duka cita yang sangat mendalam juga dirasakan sejumlah pemimpin dunia, tidak terkecuali para pemimpin kerajaan disejumlah negara Skandinavia termasuk Ratu Denmark Margrethe II, bersama Putra Mahkota Denmark Pangeran Frederick dan Putri Mary, Raja Swedia Carl Gustav dan Ratu Silvia, Raja Norwegia Harald V dan Ratu Sonia beserta sejumlah keluarga kerajaan, dan bangsawan lainnya turut melakukan Hening Cipta sejenak atas wafatnya Ratu Inggris Elizabeth II.

Wafatnya Ratu Inggris sangat berdampak terhadap situasi global saat ini khususnya terhadap kondisi politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui saat ini Inggris masih menghadapi krisis energi yang begitu drasakan oleh rakyatnya. Hal ini juga berdampak secara langsung tentang pendapatan rakyat, ketersedian pasokan bahan pangan termasuk sektor ketenagakerjaan. selain itu Inggris saat ini tengah menghadapi masa transisi setelah pengunduran diri PM Inggris sebelumnya Boris Jonhson serta peralihan kepada PM baru Liz Truss yang terpilih bukan melalui proses Pemilu, dimana rakyat Inggris belum mengetahui sepak terjang dan sejauh mana kendali yang dapat dilakukan untuk mengembalikan stabilitas negara khususnya disektor ekonomi Inggris yang hanya bisa tumbuh saat ini dikisaran 0.8 persen saja.  Selain itu dalam geopolitik kawasan Inggris juga masih menghadapi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan utamanya fokus terhadap Brexit yang belum adanya kesepakatan pasti dan bisa diterima oleh Uni Eropa terhadap Inggris. Dimana Uni Eropa  terus memperhatikan perkembangan ekonomi Inggris hingga saat ini yang cenderung semakin memburuk. Aksi reaksi politik di Inggris terus berkembang dan jika dilihat dalam perjalanan Ratu Elizabeth II saat masih memimpin, dimana begitu banyak kebijakan yang belum tentu mendapatkan reaksi positif secara langsung oleh rakyat. Namun, Ratu memiliki gaya diplomasi tersendiri dan tidak pernah prontal terhadap masyarakat dan mampu menguasai keadaan.

Disisi lain, Inggris Raya juga masih memiliki tantangan terhadap eksistensi negara persemakmuran dibawah kendalinya yang masih mengalami konstilasi pasang surut. Jumlah keanggotaan persemakmuran berangsur menurun pada era kepemimpinan Ratu Elizabeth II, terakhir pubik mencatat negara Barbados yang telah lepas dari persemakmuran disusul perdebatan juga dihadapi Australia yang masih meragukan statusnya, dimana masalah identitas bagi Australia sangat penting dalam penguatan kerangka keanggotaan negara persemakmuran. Hal yang sama juga terjadi dibeberapa negara dalam kawasan indopasifik, sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi masing-masing negara persemakmuran sendiri. Ini merupakan tantangan besar dan tidak mudah bagi seorang Raja Charles III yang telah berusia 73 tahun, untuk tetap menjaga stabilitas dan mempertahankan posisi Inggris Raya, melalui negara persemakmuran yang berpenduduk sekitar 35 persen dari seluruh penduduk dunia ini. Inggris harus mampu memberikan kontribusi lebih baik kepada seluruh negara persemakmuran.

Kedepan semakin banyak hal yang akan dihadapi oleh Inggris Raya dalam mempertahankan soliditasnya dimata dunia. Publik juga mengetahui Inggris Raya telah melakukan pembahasan teknis dalam kerangka kerjasama kemitraan melalui AUKUS bersama AS dan Australia yang akan meluncurkan program konkrit mulai dari pemantauan pergerakan kapal selam bawah laut bertenaga nuklir, penguatan artificial intelligence, dan program HANKAM terkait lainnya. Hal ini mengharuskan Inggris Raya untuk bisa menghendalikan krisis internal yang masih dihadapi negaranya, karena secara kebutuhan Inggris Raya harus dapat mengendalikan sejumlah krisis ekonomi yang terjadi, melakukan perubahan menyeluruh untuk mendapatkan dukungan dan persiapan financial yang cukup tinggi. Kemitraan strategis ini sangat berpotensi untuk mendukung penguatan pertahanan AUKUS.

Publik melihat masalah yang dihadapi Inggris saat ini tidak terlepas dari konflik kerusuhan antara Ukraina dan Rusia yang masih berkelanjutan, dimana keadaan dunia saat ini sangat berdampak terhadap pangan dan energi. Masyarakat Inggris dengan sangat terpaksa harus merespon tantangan besar ini dalam kehidupannya, manakala Covid 19 belum tuntas, termasuk virus baru lainnya yang mulai mengemuka, dihadapkan dengan musim dingin yang akan datang, termasuk Natal dan Tahun baru dalam beberapa bulan mendatang yang sangat erat dengan penyediaan pasokan pangan dan energi. Inilah beberapa tugas besar Raja Charles III untuk menjalankan tugas dengan baik sebagai Raja Inggris yang baru. Walalupun tingkat popularitas Raja Charles III tidak begitu populer ditengah rakyatnya, bahkan mengalahkan anak sulung beliau yaitu Pangeran Wiliam, namun sejumlah tantangan besar memang akan berada ditangan Raja Charles III meskipun masih menghadapi periode transisi.

Dikalangan Uni Eropa Inggris sendiri telah mengasingkan diri, publik juga melihat posisi Inggris saat ini tidak sama saat Inggris 40 tahun silam. Bahkan saat ini ada keraguan sejumlah kalangan terhadap eksistensi sebuah kerajaan. Kepribadian seorang Raja Charles III akan sangat berpengaruh utamanya bagaimana beliau mampu membina hubungan baik dengan Parlemen. Saat ini dengan posisi tertinggi dalam Monarki Inggris akan mambawa Raja Charles III untuk bisa melakukan manuver-manuver tertentu dalam mempertahankan stabilitas dan pengaruhnya. Harapan besar rakyat adalah agar Raja Charles III dapat bekerjasama dengan Perdana Menteri dan kabinet baru pemerintahan Inggris yang akan dibentuk.

Penulis merupakan kandidat Doktor bidang Kajian Pertahanan dan Hubungan Internasional di Centre d’Etudes Diplomatique & Strategiques, CEDS Institute Paris, saat in bertugas di Kedutaan Besar RI untuk Kerajaan Denmark merangkap Republik Lithuania berkedudukan di Kopenhagen. (ismailpulungan@kbricph.dk)

 

 

Share:

Tinggalkan Balasan